Minggu, 23 Oktober 2022

Wujudkan Semangat Dempul Wuku Tela Toni Dalam Diri Seorang  Petani Manggarai Melalui Pertanian Organik

 Oleh

Ferdynandus M. Manu

Pertanian organik sejatinya dapat dikatakan sebagai upaya yang menyelamtakan  petani dari berbagai cengkraman aneka persoalan yang sering meliliti dan mencengkrami kehidupan petani. Di tengah hiruk pikuknya para petani karena kekurangan pupuk, petani organik tetap tenang dan terus bekerja tanpa takut ataupun cemas. Ketika alam mulai terganggu dan hilang keseimbangannya maka bukan saja ramai menyerukan kurangi sampah plastik tetapi dengan bertani organik juga dapat menjadi jawaban untuk mengembalikan keseimbangan alam. Pertanian  organik adalah teknologi pertanian yang ramah terhadap lingkungan dan memberikan kehidupan yang sehat dan berkualitas kepada manusia. Dengan mengembangkan pertanian organik kita telah menghargai alam. Dengan mengahargai alam berati kita juga telah menghargai kehidupan dan kita berdaulat atas pertanian yang kita miliki. Proses pertanian kita tidak lagi bergantung kepada koorporasi  (pemilik pupuk, pemilik benih, dan pemilik saprodi). Tapi kita dapat menentukan secara mandiri apa yang akan kita tanam, pupuk dan pestisida apa yang akan kita gunakan terhadap tanaman kita, jenis benih apa yang akan ditanam dan makanan apa yang sehat bagi tubuh kita. Sudah sekian lama kita hidup “diperbudak” oleh bayang- bayang dari luar. Hampir seluruh kehidupan kita dikuasai oleh produk – produk dari luar. Sudah sekian lama kita telah meninggalkan hak dasar kita sebagai petani. Kita tidak lebih hanya sebagai pekerja dalam istilah Manggarai “mendi” dari para koorporasi. Hanya dengan pola pertanian organik dan menggunakan benih sendiri  dapat membebaskan para petani dari jeratan kemiskinan. 

Dengan menerapkan pola pertanian organik kita dapat menghidupkan kembali nilai kerjasama atau gotong royong (dodo/julu). Dalam petuah orang Manggarai disebut sebagai “Dempul wuku, tela toni” (hanya dengan kerja keras, berani kotor dan berani berjemur di panas matahari maupun hujan, kita akan mendapatkan hasil yang baik).

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pola kehidupan dalam dunia pertanian saat ini sudah jauh bergeser dari semangat kerjasama atau gotong royong. Pola pertanian pada abad modern ini semata-mata hanya untuk mendapatkan hasil kemudian dijadikan uang. Terlalu berorentasi pada hasil sehingga para petani sekarang cendrung untuk mengabaikan proses yang seharusnya menjadi tradisi bertani. Tidak sedikit petani kita mulai “bermental instan” (segala-galanya ada, disediakan dari toko dan tinggal saja dibeli). Tangan tidak lagi kotor, tidak lagi berjemur di sinar matahari. Akibatnya, hasil yang diperoleh hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Lebih banyak dikeluarkan untuk membayar ongkos peralatan kerja dan berbagai produk lain demi mencapai hasil.  Dengan hadirnya teknologi yang kian modern dalam dunia pertanian, secara perlahan namun pasti nilai – nilai kerjasama dan gotong royong mulai tergerus. Orang lebih cenderung indivualis, rasa solider mulai memudar dan dodo sebagai tempat berkumpul dan berbagi cerita antar petani mulai hilang. Sebuah ancaman baru terhadap budaya bertani bagi orang Manggarai.

Di sisi lain dunia pertanian dewasa ini lambat laun mulai kurang diminati oleh kaum muda. Miris nasib pertanian di masa yang akan datang. Generasi muda kurang tertarik dengan dunia pertanian. Ini adalah suatu ancaman baru dalam dunia pertanian kita. Padahal kita tahu bahwa 86-90% makanan yang kita makan berasal dari hasil pertanian. Apa jadinya kalau generasi penerus tidak lagi tertarik pada dunia pertanian kita? Siapa yang harus menyediakan pangan yang sehat untuk masyarakat pada umumnya? Kaum muda milenial kini lebih cendrung untuk memilih bekerja diluar daerah. Mereka lebih senang menjadi tukang ojek. Sementara mereka yang berpendidikan tinggi lebih bersemangat  untuk menjadi pegawai pemerintah maupun swasta. Alasan paling utama yang sering dijadikan tameng pelarian ini adalah pertanian tidak memberikan keuntungan secara finansial. Ada gambaran dalam benak kaum muda milenial bahwa petani tidak pernah berkecukupan. Gambaran petani tidak pernah menjadi kaya terlukis indah dalam sanubari masyarakat kita. Stigma yang belum mampu dihilangkan.

 
Gambaran tentang petani yang pasti hidup miskin dan selalu berkekurangan itu telah lama berakar dalam benak dan sanubari masyarakat. Hal ini lebih disebabkan oleh hasil panenan yang lebih banyak dijual untuk membayar proses kerja yang isntan dan cendrung cari gampang. Proses untuk bekerja dengan keras dan bertahap cendrung diabaikan. Akibatnya adalah besar pasak dari pada tiang. Hasil yang didapat selalu lebih kecil dari biaya yang harus dikeluarkan. Ini harus menjadi sebuah pekerjaan rumah bersama bagi semua komponen bahwa pendidikan pertanian bagi generasi muda perlu dikedepankan agar kaum muda kita  bisa merasa kembali tertarik dengan usaha dalam bidang pertanian. Membantu kaum muda untuk  bertani dengan riang gembira bukan karena pelarian semata.  Tentunya pertanian yang diperkenalkan kepada mereka adalah pertanian organik. Pertanian yang selaras alam dan memberikan penghidupan berkelanjutan kepada makluk hidup. 

Penyebab lain dari tergerusnya semangat bertani dalam dunia dewasa ini adalah maraknya proses alih fungsi sampai pada tindakan menjualkan lahan pertanian. Alih fungsi dan penjualan lahan pertanian bukan lagi rahasia baru untuk saat sekarang. Semakin hari semakin marak para petani kita menjualkan lahan pertanian atau lahan produktif lainnya  kepada para pemilik modal atau investor. Oleh kaum kapitalis atau pemilik modal, lahan pertanian itu kemudian dialihfungsikan  menjadi lahan untuk bermukim. Menjadi lahan tempat tinggal. Lahan berdirinya rumah dan toko.  Persoalan ini yang harus menjadi perhatian utama dari semua pihak selaku pemangku kepentingan.  Lahan pertanian seharusnya dijaga untuk ketersediaan pangan.  Jadi lahan pertanian dan lahan produktif lainnya tidak boleh  dialihfungsikan untuk pemukiman. Produksi pangan kita akan berkurang bilamana lahan yang seharusnya untuk pangan digantikan fungsinya. Dampaknya adalah harga pangan yang semakin hari semakin mahal. Saat ini yang mahal harganya tidak saja beras tetapi harga pangan lainnya akan terus menanjak  seperti halnya jagung, ubi-ubian dan kacang–kacangan. Karena harga pangan non beras yang juga menjadi mahal maka masyarakat kita menjadi sangat   bergantung pada pangan beras.  Saat ini sulit sekali kita mendapatkan petani di kampung-kampung yang menanam jagung, ubi-ubian dan kacang –kacangan dalam jumlah yang banyak dan di atas lahan yang luas.

Bertani dengan pola organik perlu kita dikembangkan. Paling tidak pola bertani dengan cara organik kita terapkan di lahan pertanian kita masing – masing. Praktek bertani organik ini akan dapat kita kembangkan kalau kita mampu menghidupkan kembali budaya gotong royong (dodo/julu). Pemerintahan kita mulai dari tingkat desa sampai tingkat pusat berani mengalokasikan dana dan jadikan lahan khusus sebagai tempat untuk tanaman pangan non padi. selain itu dibutuhkan keberanian untuk menghentikan penjualan lahan pertanian kepada para investor atau siapapun. Dengan cara – cara seperti itu kita telah menghargai diri kita sendiri dan menghargai tradisi yang telah diwariskan  secara turun temurun.*

Penulis adalah Koordinator Program Yayasan Komodo Indonesia Lestari (Yakines) 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Muhamat Sutar, YAKINES Bawa Harapan Baru Bagi Masyarakat Desa Tiwu Nampar

Menjelang akhir Juli 2023, kami melakukan kunjungan ke desa Tiwu Nampar, seperti yang harus dilakukan di setiap desa dampingan Yakines setia...