Kamis, 13 April 2023

Petani Dalam Gua Jeratan Koorporasi

Entah sadar, entah tidak, petani di masa sekarang sedang tidak baik-baik saja. Profesi yang dijuluki sebagai penyanggah tatanan negara Indonesia itu kini dibuat menjadi serba tidak berdaya. Ketidakberdayaan petani lebih diciptakan oleh keadaan dan sistem yang ada di dalam negara ini. Pertanian dipolitisasi. Akibatnya adalah petani dieksploitasi melalui perdagangan. Berpacu dalam ruang persaingan rugi dan laba, petani akhirnya berdiam diri dalam jeratan kaum kapitalis yang dibungkus rapih dalam kemasan industrialisasi. Koorporasi membuka pintu gua jeratan bagi petani dengan dalil kemajuan dalam dunia pertanian. Jeratan yang dipasang kaum kapitalis dengan mendapat dukungan dan kebijakan politik yang tidak berpihak pada petani itu masih belum disadari penuh oleh kebanyakan masyarakat luas termasuk di dalamnya oleh petani itu sendiri. Persoalan ini dikemukakan dengan lantang oleh Koordinator program Yayasan Komodo Indonesia Lestari (Yakines) Labuan Bajo, Ferdinandus M.Manu di hadapan kepala desa bersama staff, ketua BPD dan anggota, para kepala Dusun, para ketua RT, para kader posyandu, para tua-tua adat dan perwakilan kaum perempuan Desa Watu Nggelek dalam acara penyusunan rancangan perturan deda tentang kedaulatan pangan di aula kantor Desa Watu Nggelek belum lama ini.
Menurut Ferdinandus M. Manu, keberadaan petani dalam gua jeratan koorporasi itu dapat dilihat dari ketergantungan petani pada dunia industrialisasi yang justeru mengekerdilkan kehidupan petani itu sendiri. Ketergantungan yang paling utama adalah ketergantungan benih. Sejatinya identitasnyaseorang petani itu dikenal dari kepemilikian benih. Sayangnya petani dalam dewasa ini sudah terlalu bergantung pada benih yang diperjualbelilkan. Benih yang diperdagangkan. Benih hasil dari proses industrialisasi. Sejalan dengan upaya memperdagangkan benih kepada petani, pemerintah seringkali mengambil kebijakan politik yang timpang. Benih dijadikan alat politisasi demi menarik simpatik masyarakat petani. Lagi-lagi benih hasil industri itu juga yang dibagikan. Baik benih yang dibagikan oleh pemerintah ataupun benih yang dibeli langsung oleh petani sama-sama memiliki riwayat yang sama. Sama-sama diciptakan agar petani terus bergantung. Petani diharuskan untuk tidak memiliki benih secara merdeka dan mandiri karena benih tersebut telah dirakit untuk satu atau dua kali tanam. Kemenangan awal telah berpihak pada kaum kapitalis.
Ketergantungan petani pada mesin uang kaum kapitalis tidak saja terbatas pada benih semata tetapi menjalar sampai pada sarana dan prasarana produksi. Beredar luas pupuk dan pestisida pabrikan sejak revolusi hijau sampai sekarang. Petani lagi-lagi menggantungkan nasibnya pada pupuk dan pestisida pabrikan. Petani hingga kini masih saja terus begeming tanpa daya. Pemerintah merintis kebijakan memberikan subsidi pupuk. Alih-alih mensejahterakan petani, toh cita-cita dari kebijakan itu serasa panggang jauh dari api. Petani seakan dihipnotis untuk terus menerus menggunakan pupuk dan pestisida pabrikan itu tanpa tahu kapan akan berakhir. Sementara semua unsur hara dalam tanah terus disedot dengan paksa sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida pabrikan. Akibat yang dirasakan oleh petani adalah semakin berkurangnya jumlah hasil pertanian yang lebih disebabkan oleh kondisi tanah semakin hari semkin keras dan padat. Petani terpaksa harus terus menambah jumlah atau dosis pemberian pupuk dari waktu ke waktu. Ongkos kerjapun terus bertambah. Semakin tingginya jumlah ongkos kerja sementara hasil panenan yang didapat jauh dari yang diharapkan. Kerugian diderita petani. Bertani dipandang sebagai kemalangan. Karenanya anak, remaja dan kaum muda dari kelurga petani hampir tidak pernah diharapkan untuk kembali menjadi petani.
Saat ini petani telah terseret masuk dalam gua jebakan industrialisasi oleh kaum kapitalis. Gua, oleh Plato telah dijadikan sebagai analogi sistem pengetahuan manusia. Menurut Plato, manusia yang terjebak dalam gua akan beranggapan bahwa yang mereka lihat itu adalah kebenaran sekalipun dalam keadaan yang gelap. Kebenaran tidak akan diperoleh oleh mereka yang tidak ingin berjuang membebaskan diri dari gelapnya gua. Pengetahuan akan kebenaran hanya dapat dimiliki oleh mereka yang mampu dan mau melihat setitik cahaya yang datang dari luar gua. Tidak hanya melihat namuan ia berniat dan berjuang untuk menemukannya. Plato melukiskan bahwa orang yang mau mencari kebenaran itu akan berjuang dengan memanjat tebing gua dan keluar melihat cahaya matahari yang bersinar gemilang di luar gua.
Mnurut Ferdinandus Mau Manu, Yayasan Komodo Indonesia Lestari (YAKINES)- Labuan Bajo, berjuang dengan segala daya dan upaya terus membangun kesadaran masyarakat petani untuk sadari keadaan dan berbalik membebeskan diri dari jeratan kaum kapitalis. "Kami hadir sebagai lembaga yang transformatif bukan sebagai lembaga karitatif. Sebagai lembaga yang transformatif; maka kami datang ke hadapan bapak dan ibu untuk membagikan pengetahun, kemampuan dan teknologi. Jadi kami hadir bukan untuk membagi uang atau barang." Tegasnya. Lebih lanjut ia berharap agar dengan pengetahuan, kemampuan dan teknologi yang diberikan oleh lembaga YAKINES dapat menjadi jalan pulang bagi petani untuk keluar dari gua jebakan kaum kapitalis dan praktek timpang dari sistem politik masa kini dalam dunia pertanian. Jalan ini kami buka dan kami berikan dengan program pertanian organik, lumbung benih dan berbagai program lain. "Sekarang tinggal bapak dan ibu pilih mau tetap berdiri teguh dalam gua jebakan industrialisasi dalam dunia pertanian kita atau segera berbalik badan mencari jalan pulang menuju kemerdekaan diri dan menunjukan identitas diri sebagai petani yang sejati?" Ungkapnya retoris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Muhamat Sutar, YAKINES Bawa Harapan Baru Bagi Masyarakat Desa Tiwu Nampar

Menjelang akhir Juli 2023, kami melakukan kunjungan ke desa Tiwu Nampar, seperti yang harus dilakukan di setiap desa dampingan Yakines setia...