Kamis, 15 Juni 2023
Ternak Super Liar Di Tempat Wisata Super Premium
Persoalan ternak yang dilepasbebaskan oleh peternak di beberapa desa di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat telah memberikan dampak buruk pada ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu dampak buruk paling banyak dialami oleh masyarakat yang berdomisili di seputaran kota Labuan Bajo itu adalah penelantaran lahan pekerangan rumah tinggal. Banyak pekerangan rumah tidak diolah secara baik dan dibiarkan terlantar oleh masyarkat disejumlah desa di Kecamatan Komodo. Keadaan ini banyak dijumpai di beberapa wilayah desa yang menjadi Desa dampingan Yayasan Komodo Indonesia Lestari (YAKINES). Salah satu di antaranya adalah Desa Watu Nggelek. Banyak pekerangan rumah masyarakat di desa ini dibiarkan terlantar. Alasan paling utama mengapa lahan pekerangan rumah warga itu tidak diolah lebih disebabkan oleh hewan peliharaan warga yang banyak dilepasbebaskan. Persoalan ternak yang dilepasbebaskan itu menjadi persoalan yang banyak diperdebatkan dalam acara finalisasi peraturan desa (Perdes) tentang kedaulatan pangan yang berlangsung di aula kantor Desa Watu Nggelek belum lama ini.
Salah satu poin yang ditekankan dalam perdes yang langsung difasilitasi oleh Yakines adalah terkait pemenfaatan pekerangan rumah. Di dalamnya mengatur, setiap warga desa wajib menanam sayuran organik, tanaman obat-obatan, tanaman buah-buahan seperti pepaya, naga, mangga, nangka, dll secara mandiri di pekerangan rumahnya masing-masing dan mananam stek daun geong, kelor dan katuk serta menata pekerangan rumahnya dengan membuat pagar indah, (perdes tentang kedaulatan pangan Desa Watu Nggelek Pasal 15 poin a-f). Sementara itu dalam perdes yang sama juga diatur agar pemerintah desa wajib untuk melakukan monitoring dan evaluasi serta berupaya mengatur penganggaran yang mendukung upaya pemenfaatan pekerangan rumah oleh warga desanya melalui para ketua RT. Selain itu peremintah desa juga wajib melakukan kontrol secara periodik tentang implemntasi pemenfaatan lahan pekerangan sebagai penyanggah pangan keluarga. (Perdes tentang kedaulatan pangan Desa Watu Nggelek pasal 17 poin a-e.
Terkait ternak yang dimiliki warga, peraturan yang dirumuskan dan difasilitasi oleh Yakines dan diusulkan kepada semua warga, BPD dan pemerintah desa dampingan melalui proses sosialisasi sampai ke tingkat RT itu juga turut diatur. Peratruan desa yang tetap berpatok pada prinsip partisipatif itu mewajibkan kepada semua warga yang memiliki ternak agar wajib mengandang atau mengikat ternaknya dilahan miliknya sendiri tanpa merusak lahan para petani lainnya. Selain itu setiap warga yang memiliki ternak wajib untuk menanam pakan ternak seperti king grass, rumput gajah, dll yang dapat dilakukan dengan sistem teras sering. Warga juga wajib untuk membuat kandang dan membuat lubang kompos untuk menampung cirit ternak, membersihkan kandang setiap hari dan memenfaatkan cirit ternak secara baik untuk menunjang pertanian organik atau pertanian berkelanjutan (Perdes tentang kedaulatan pangan Desa Watu Nggelek pasal 18 poin a-f).
Demikian salah satu bagian dari keseluruhan rancangan peraturan desa untuk semua desa dampingan Yakines yang memunculkan perdebatan panjang. Perdebatan yang muncul dari dukungan warga yang hadir agar perdes ini dijalankan dengan sungguh-sungguh. Salah satu yang berani bersuara secara lantang adalah Nurwahda Nia seorang bidan yang bertugas pada puskesmas pembantu (PUSTU) Desa Watu Nggelek. “Semua yang diatur dalam rancangan perdes tentang pemenfaatan pekerangan itu baik. Saya salah satu korban dari keganasan hewan peliharaan yang tidak tertib dan dilepasbebaskan. Berulangkali saya tanam sayur dan berulangkali juga dibuarkan pagar disekitar rumah Poindes tetapi pagar selalu saja dirusakan dan tanaman sayuran pun habis dimakan sapi. Dengan ranperdes ini semoga ternak peliharaan warga yang selama ini dilepasbebaskan itu bisa mulai ditertibkan.” Tegas Nurwahda.
Persoalan yang sama juga dialami oleh para suster yang berdomisili di desa tersebut yang kemudian disampaikan langsung kepada kepala desa.
Kepala Desa Watu Nggelek, Ismail Nuratim dalam tanggapan menuturkan bahwa terkait masalah ternak warga yang dilepasbebaskan itu sudah menjadi perosalan lama yang juga sudah menjadi wacana bersama namun belum ada penyelesaian. “Ibarat makan buah simalakama. Sebagian besar warga menggantungkan hidupnya dari usaha ternak. Disaat yang sama, warga dihimbau agar wajib memenfaatkan pekerangannya. Namun dengan adanya ranperdes yang difasilitasi oleh Yakines ini menjadi suatu ikatan bagi kita semua di sini.” Jelasnya.
Menurut Ismail, pendekatan budaya harus tetap menjadi prioritas dalam setiap persoalan yang ditimbulkan oleh adanya ternak yang dibiarkan bebas itu. “Pendekatan budaya kita kedepankan sambil juga kita tetap mengacu pada peratruan desa yang hari ini kita finalkan ini. Meski demikian pengembalian kerugian yang diakibatkannya pun tetap mengacu pada perdes dan tingkat kerugian yang dialami.” Tegas Ismail.
Persoalan yang sama dialami warga Desa Tiwu Nampar dan Desa Macang Tanggar di mana hampir keseluruhan pekarang rumah dibiarkan terlantar. Philipus Ipin ketua RW kampung Mbuhung 2 Desa Tiwu Nampar menuturkan bahwa warga kampungnya tidak bisa mengelolah pekerangan rumahnya dengan baik karena masalah ternak yang dilepasbebaskan sampai saat ini. “Sebenarnya warga di sini sangat mau untuk kelolah pekerangannya, hanya saja persoalan ternak yang sampai saat ini belum ada kata sepakat. Sementara daerah ini sejak dahulu adalah wilayah ternak. Ternak yang dilepasbebaskan dan masuk sampai ke pekerangan rumah warga di kampung ini tidak hanya terrnak milik warga Desa Tiwu Nampar saja tetapi ternak warga dari desa tetangga seperti Macang Tanggar dan Desa Warloka.” Terang Philipus.
Persoalan ternak yang dilepasbebaskan dan berdampak pada penelantaran pekerangan rumah oleh warga di seputarann kota Labuan Bajo ibarat mengurai benang kusut. Ternak dibiarkan sementara di satu sisi Labuan Bajo telah ditetapkan sebagai daerah pariwisata super premium.
Memulai babak pencerahan dan kesadaran baru butuh kerja sama atau sinergisitas semua elemen. Kalau hal ini dibiarkan maka yang dirugikan adalah masyarakat itu sendiri.
Ferdinandus Mau Manu, Koordinator Porgam Yakines pada kesempatan terpisah menjelaskan bahwa Yakines berusaha melalui rancangan perdes tentnng kedaulatan pangan dengan harapan agar kesejahteraan bersama warga desa dampingan itu dapat dicapai. “Kita usulkan aturan yang mengikat kedua pihak, tidak hanya peternak atau tidak hanya petani tetapi kedua-duanya diatur agar tertib. Dan berharap agar pemerintah desa mampu menjalankan peran sebagai unsur yang menengahi persoalan ini sehingga bisa terselesaikan dengan bijak dan baik.” Jelasnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Muhamat Sutar, YAKINES Bawa Harapan Baru Bagi Masyarakat Desa Tiwu Nampar
Menjelang akhir Juli 2023, kami melakukan kunjungan ke desa Tiwu Nampar, seperti yang harus dilakukan di setiap desa dampingan Yakines setia...
-
Sembilanbelas tahun sudah menjajaki kakinya di tanah Manggarai Barat terhitunhg sejak tahun 2024 silam telah banyak menggoreskan kenangan s...
-
Menjelang akhir Juli 2023, kami melakukan kunjungan ke desa Tiwu Nampar, seperti yang harus dilakukan di setiap desa dampingan Yakines setia...
-
Ferdinandus Mau Manu, Koordinatror Program Yayasan Komodo Indonesia Lestari (YAKINES), Labuan Bajo kembali mengulangi apa yang selalu disamp...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar